Sabtu, 25 Februari 2012

Terbit di Pontianak Post 25 Januari 2012

UNTAN Menuju World Class University!
Oleh
Y.Gatot Sutapa Y.

Menyimak tulisan Dr. Leo Sutrisno Pontianak Post  tanggal 23 Januari 2012, penulis tergerak untuk mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan terbangunnya kerjasama antara UNTAN dengan universitas di luar negeri khususnya USA.
Pada tahun anggaran 2010-2011 yang lalu, penulis berkesempatan untuk mengikuti  sandwich-like program di University of Illinois USA sebagai visiting scholar. Penulis melihat adanya celah-celah kerjasama yang bisa dibangun terutama yang terkait dengan pengembangan kerjasama akademis baik yang berupa pengiriman tenaga pengajar, seminar, penerbitan journal, study visit, upgrading teachers, visiting scholar dan lain-lainnya. Penulis, sebagai salah satu perserta program yang medalami English for Vocational School dan ikut aktif dalam beberapa seminar internasional yang diselenggarakan di kampus tersebut, di akhir sebuah seminar yang terkait denganEducation through Culture ditawari untuk mengajar Bahasa Indonesia di Foreign Language Department  at University of Illinois. Kebetulan pengelola program ini adalah seorang ahli bahasa Aram dari Iran yang sudah menetap di Amerika dan memandang penting mengundang  dunia global ikut dalam  entity-nya yang vareatif.
Lain dari itu, penulis juga berkesempatan mengunjungi Richland Community College di Decatur Illinois yang menawarkan mutual cooperation sebagai medium magang. Vice academic director, Dr. Tod Treat, yang sepanjang study visit menemani penulis dan memberikan gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan kerjasama yang bisa dikerjakan dalam berbagai ketrampilan dari yang terkait tentang pembelajaran bahasa Inggris untuk imigran sampai dengan program teknologi  terapan berbasis  pembaharuan.
Satu lagi yang sekarang sedang gencar dilakukan oleh University of Illinois adalah dual degree program. University of Illinois, nampaknya menyadari bahwa partnership tingkat internasional semakin hari menjadi semakin penting untuk tetap menjaga dan mengembangkan rising survivalnya. Prof. Marilyn Parsons, Senior Lecturer at University of Illinois, tahun yang lalu berkunjung ke Indonesia dalam rangka mempromosikan program ini. Dan terkait dengan program ini, Universitas Negeri Semarang sudah setahun lebih awal menindaklanjutinya dan dapat melakukan program  dual degree mulai tahun yang lalu.
Jadi, dari sini dapat ditarik sebuah inspiring moment bahwa kesempatan go public dan menjadi world class university dalam jaringan kerjasama internasional itu ada dan terbuka lebar. Hanya, penulis setuju apa yang diungkap Dr. Leo bahwa untuk bisa berpartner dengan sejajar, minimal dipandang sejajar, UNTAN kita harus memiliki program unggulan. Dengan level sejajar ini kita bisa memetik banyak keuntungan dan kita tidak ter-underestimate dalam hal yang kita sebenarnya juga mampu.

Apa yang bisa kita unggulkan?
Sebuah pertanyaan yang tidak mudah kita jawab memang.  Satu hal yang pasti adalah bahwa dengan menilik posisi UNTAN yang berada di perlintasan internasional langsung menuju Malaysia, Brunei, dan Singapura mestinya memberikan inspirasi bagi kita untuk menemukan fokus kajian dan pengembangan UNTAN ke depan sebagai institusi preservasi dan pusat informasi ilmiah sekurang-kurangnya di Kalimantan Barat. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir FKIP UNTAN juga sudah memulai unjuk gigi membangun kerjasama dengan UKM di Malaysia baik dengan mengirim tenaga pengajar maupun mahasiswa. Juga, ke Brunei ternyata FKIP UNTAN kita telah mampu menyediakan tenaga guru yang sudah lolos seleksi dan siap bekerja di sana. Penulis juga pernah presentasi seminar di USM Penang (memiliki mahasiswa internasional dari Iran, Lebanon, Pakistan, dan negeri Timur tengah lainnya) mendapatkan sambutan yang sungguh luar biasa bahwa USM juga terbuka untuk menjalin kerjasama akademis dengan universitas di Indonesia. Semua ini tentu bisa menjadi benih-benih inspiratif yang siap berkembang di kemudian hari, termasuk menembus  Amerika, jika kita memang mampu secara konsisten terus tumbuh ke arah yang mau kita tuju itu.
Selain daripada itu, selama penulis di Amerika, penulis juga mengamati bahwa Amerika memerlukan tersedianya tenaga-tenaga teknisi ICT dan montir kelas menengah (Kita punya Fakulats Teknik), perawat kesehatan dalam arti luas (Kita punya Fakultas Kedokteran), pelaut di kapal-kapal pesiar (Perlu dibuka Fakultas Kemaritiman?), dan tambang.  Ini semua terlihat nyata ketika Amerika cukup welcome terhadap tenaga-tenaga dari Indonesia yang (tidak jarang) dikenal ulet dan tahan ujian. Maka dari itu, dengan melihat beberapa hal yang penulis sebut tadi, mana yang bisa dan memang mau kita jadikan unggulan semua terbuka di depan kita. Yang penting adalah segera mulai; apakah itu revitalisasi atau implementasi-- karena dunia global tidak pernah menunggu.
Visi yang memanusiakan manusia!
Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang secara conditio sine qua non mengemban tugas untuk “memanusiakan manusia” dan “memanusiawikan” lingkungan hidupnya, UNTAN pantas terpanggil selain bervisi untuk memasuki World Class University, UNTAN juga tetap harus bervisi untuk menjadi pusat ilmiah dan institusi preservasi ke-Kalbar-an yang aktif, kreatif, inovatif, dan konstruktif sebagai akar tumbuhnya. Dua visi yang bersifat ad extra dan ad intra ini harus tetap dikembangkan dan dirawat secara integral-berkesinambungan. Untuk itu, Bapak Rektor yang sedang mengemban amanah luhur ini perlu didukung untuk terjadinya kondisi positif  implementasinya.
Keluhuran amanah rectory yang positif terletak pada feasibilitas policy dan visi implementatif program pendidikan UNTAN yang mesti berorientasi pelayanan publik dengan berdasar pada humanism dan intellectualism. Dengan didukung tenaga dosen yang professional dan tenaga struktural yang kompeten serta kiat  pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, sisi humanism sebuah lembaga pendidikan mengharuskan UNTAN mampu menempatkan martabat kemanusiaan dan pengembangannya ke level yang utama dan diutamakan. Sementara itu, sisi intellectualism menjadi fondasi dan sekaligus isi komtemplatif  UNTAN sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk selalu mampu membawa pencerahan inovatif ranah pikir guna membangun manusia Kalimantan Barat yang berfikir global bertindak local, bernurani lebih adil, bernaluri lebih sejahtera,  berprinsip lebih bermartabat, dan lebih peka terhadap tanda-tanda zaman.
Untuk itu, pantas jika Gugus Tugas hubungan kerjasama UNTAN dan perguruan tinggi di AS yang dibentuk tetap berkiblat pada hal-hal tersebut. Kondisi positif untuk mendukung  rectory mengimplementasikan program-programnya secara  produktif  salah satunya juga terletak di pundak gugus ini.  Selamat  mengglobal!

Penulis: Dosen FKIP Untan, Mahasiswa Doktoral di UNY dan Alumni Sandwich-like Program di University of Illinois USA.

Pontianak Post, Rabu 22 Februari 1012

SMK:  SEKOLAH BERKULTUR SISWA PRODUKTIF YANG KOMPETITIF
Oleh
Y. Gatot Sutapa Y.

Mencermati tulisan Bapak Sasmito Aripala S.Pd di Pontianak Post Kamis, 9 Februari 2012 yang berjudul “Jangan Jadikan SMK Sekolah ‘Kedua’”, ada hal menarik yang bisa dijadikan bahan diskusi yakni  sebuah “kegalauan/keprihatinan” hati Pak Sasmito yang tidak mengehendaki SMK menjadi sekolah “kedua”.  Hal ini cukup beralasan ketika disadari bahwa raw material siswa yang masuk ke SMK tidak jarang “dimitoskan” sebagai siswa yang kemampuan akademisnya dibawah rata-rata siswa yang masuk ke SMA. Dari yang “termitoskan” inipun banyak yang memilih SMK konon karena terpaksa dan belum secara intensif menjatuhkan pilihan masuk ke SMK sebagai sebuah futuristic dream pengembangan dirinya. Maknanya semakin menjadi lebih dalam ketika disadari bahwa Pak Sasmito adalah seorang guru SMK di sebuah wilayah Pulau Maya Karimata yang tentu dipundaknya ada beban sosial dari masyarakat “pedesaan” yang menitipkan anak-anaknya dengan penuh harap untuk dididik dan siap dapat kerja; sekalipun baginya permasalahan menjadi tidak ringan. Hal-hal yang terkait dengan keterbatasan peralatan, kurangnya laboratorium, masih rendahnya tingkat ketersediaan biaya praktik, dan lingkungan belajar yang tidak serupa dengan dunia kerja tetap juga menghantuinya.
 Akan tetapi, kegalauan/keprihatinan tersebut menurut penulis kelihatannya juga bisa diubah menjadi titik pacu yang berenergi positif demi pengembangan SMK yang lebih futuristic dan peka terhadap kebutuhan masyarakat pelanggannya ketika sinergisitas dan tindak kolaboratif para pemangku kepentingan terbangun secara proporsional, konstruktif dan berkesinambungan. Selain masyarakat yang an sich terlibat di dalamnnya sebagai pelanggan sekaligus pemangku kepentingan, ada tiga komponen konstruktif  lain yang mendukung hal ini bisa terjadi secara maksimal apabila:
Pertama, SMK sebagai sekolah penyiap tenaga kerja secara terus-menerus membangun dan mengembangkan pemihakan konsepsi vokasionalnya sesuai dengan tuntutan dunia kerja yang real-need. Konsepsi yang dimaksud adalah esensi pendidikan kejuruan berbasis kompetensi yang berorientasi pada productivity dan markertable skill. Pembudayaan “belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar” menjadi inti kegiatan didaktis-pedagogik SMK sebagai miniatur tata hidup masyarakat. Pendidikan SMK berkonsepsi ini  menciptakan kondisi untuk mengadaptasi  jenis pekerjaan yang ada, baru, dan mungkin akan ada untuk dijadikan referensi KBM. Karena itu, untuk  realiasasinya dengan didukung oleh tenaga pendidik dan kependidikan yang professional, penekananan kurikulum diberikan pada pencapaian kompetensi yang harus dikuasai dan penekanan pada pemberian pengalaman belajar yang lebih bermakna melalui proses kerja yang sesungguhnya dan menghasilkan produk barang atau jasa sesuai dengan standar pasar dan mengutamakan penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap professional yang layak jual.
Kedua, ada peran supportif Dunia Usaha dan Industri (DUDI) yang relevan sebagai tanggung jawab socio-mutual safety net. Meskipun DUDI tidak bisa dipisahkan dari visi profit-oriented, SMK tetap bisa mengajak kemitraan dengan DUDI dengan prinsip saling menguntungkan. Hal ini guna melaksanakan on the job training  untuk pemerolehan general and specific  training, dan on the job experience (magang atau internship untuk pemerolehan ketrampilan teknis, sikap, kebiasaan dan emosional, askriptif/soft skills). Selain itu, melalui kemitraan ini SMK juga memiliki peluang untuk up date pengetahuan dan ketrampilan yang sedang trend. 
Ketiga, ada peran aktif untuk regulasi, pengawasan, pembinaan dan kompensasi dari pemerintah sebagai pemangku kepentingan. Semangat pemerintah untuk mendorong SMK menjadi ujung tombak pe­nye­dia tenaga kerja terampil nasional dan bahkan internasional semakin menunjukkan ancangan implementatif yang positif dan futuristik. Untuk itu, digalakannya kegiatan-kegiatan strategis guna semakin mendorong berkembangnya SMK baik dari pengadaan infrastruktur, hardware-software, dan segala kelengkapannya maupun orientasi pengembangannya ke depan mencerminkan tekad yang kuat untuk bersinergi dengan moment pembangunan bangsa, melalui pendidikan SMK.
Dengan terjadinya tindak kolaborasi yang sinergis dan tetap saling menguntungkan tanpa menghilangkan visi masing-masing dari ketiga komponen tersebut, SMK sebagai lembaga pendidikan formal yang diundangkan akan mampu menyiapkan sumber daya manusia yang siap memasuki dunia kerja dan menjadi penyedia tenaga kerja yang berkompetensi handal. Selebihnya, SMK juga akan bisa menghadirkan sebuah peluang pemartabatan dalam arti luas dan peningkatkan mutu hidup termasuk pengentasan masyarakat dari jerat kemiskinan yang aktual. Juga, SMK akan bisa dengan naluri profesionalitas kelembagaan kejuruan untuk berkembang secara komprehensif dan mampu sejajar dengan level sekolah formal di tingkatannya sebagai medium pengembangan diri anak didik. Dengan kata lain, SMK sebagai salah satu solusi alternatif pembangunan kemasyarakatan pantas didorong secara kooperatif untuk mampu  mempersiapkan, memproses, membentuk, mengembangkan, memberdayakan dan menghasilkan  sumber daya manusia enterpreneurs  yang terampil dan kompeten.

Bias SMK  Berwawasan Enterpreneurship
Terjadinya perkembangan siswa-siswa SMK mampu memproduksi mobil esemka, pesawat terbang, sepeda motor, robot, alat pengawet makanan, mesin pemanen sawit, mesin alat produksi dan lainnya, semakin menumbuhkembangkan motivasi inspiratif  dan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap kemajuan mutu pendidikan SMK. Usaha-usaha untuk menghasilkan SDM ke arah lebih produktif-kompetitif ini perlu dibarengi dengan revitalisasi fungsi didaktis-pedagogisnya sehingga sekolah menjadi lebih handal, berkualitas dan berwawasan entrepreneurship global atas dasar peran sosialnya sebagai agent of change, sekaligus sebagai aset ekonomi  lokal. 
Selanjutnya, untuk bisa melakukan perberdayaan dan kewirausahaan yang bermakna kultural-inklusif baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat yang dilayani, siswa-siswa SMK juga perlu dididik dan dibekali dengan ketrampilan komunikatif kebahasaan (utamanya Bahasa Inggris) yang memadai agar dapat diadopsi lang­sung oleh industri. Dengan kompetensi kebahasaan, orientasi mutu, relevansi pendidikan dan kurikulum SMK yang terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lokal dan peluang kerja yang disediakan oleh industri, peluang lulusan SMK semakin terbuka untuk terserap di dunia kerja.
Selain itu, sebagai penyedia calon tenaga kerja yang berorientasi pasar SMK juga harus mampu mengedepankan  pendidikan yang berdimensi investasi-eksploratif. Maksudnya adalah bahwa sebagai lembaga SMK harus memiliki hakekat pengembangan citra diri dan agenda kinerja yang bermuara pada kultur entrepreneurship berdasar pada nilai-nilai produktifitas, efesiensi dan efektifitas. Makna praktisnya adalah, SMK harus mampu mengembangkan jenis spesifikasi keunggulan lokal berdimensi ekonomis, jenis spesifikasi ketrampilan yang dibutuhkan pasar, dan daya untuk meluluskan entrepreneur  dengan kemauan, kemampuan mobilitas, dan kesehatan yang prima.
Bagi Pemerintah, tumbuhnya gairah siswa SMK dalam berkreasi dan meningkatkan mutu kompetitif industri kreatif ini kiranya secara kreatif-konstruktif juga terus diberi kondisi untuk tercapainya perubahan-perubahan dalam men­cip­takan kultur serupa di SMK sekitar kita. Dengan demikian tenaga-tenaga engineer tingkat menengah yang siap kerja dan mampu mengenal per­leng­kapan lingkup di dunia kerja yang menjadi miniature nyata  juga terus tersedia.
Mari SMK maju membudaya dalam kinerja (encultural) dan menangkap peluang pasar yang terbuka dengan mendorong budaya belajar sambil kerja ke arah yang produktif dan kompetitif. SMK Bisa!!!
                                                                                   
Penulis:
Dosen FKIP UNTAN,
Peminat Vocational Education
SMK:  SEKOLAH BERKULTUR SISWA PRODUKTIF YANG KOMPETITIF
Oleh
Y. Gatot Sutapa Y.

Mencermati tulisan Bapak Sasmito Aripala S.Pd di Pontianak Post Kamis, 9 Februari 2012 yang berjudul “Jangan Jadikan SMK Sekolah ‘Kedua’”, ada hal menarik yang bisa dijadikan bahan diskusi yakni  sebuah “kegalauan/keprihatinan” hati Pak Sasmito yang tidak mengehendaki SMK menjadi sekolah “kedua”.  Hal ini cukup beralasan ketika disadari bahwa raw material siswa yang masuk ke SMK tidak jarang “dimitoskan” sebagai siswa yang kemampuan akademisnya dibawah rata-rata siswa yang masuk ke SMA. Dari yang “termitoskan” inipun banyak yang memilih SMK konon karena terpaksa dan belum secara intensif menjatuhkan pilihan masuk ke SMK sebagai sebuah futuristic dream pengembangan dirinya. Maknanya semakin menjadi lebih dalam ketika disadari bahwa Pak Sasmito adalah seorang guru SMK di sebuah wilayah Pulau Maya Karimata yang tentu dipundaknya ada beban sosial dari masyarakat “pedesaan” yang menitipkan anak-anaknya dengan penuh harap untuk dididik dan siap dapat kerja; sekalipun baginya permasalahan menjadi tidak ringan. Hal-hal yang terkait dengan keterbatasan peralatan, kurangnya laboratorium, masih rendahnya tingkat ketersediaan biaya praktik, dan lingkungan belajar yang tidak serupa dengan dunia kerja tetap juga menghantuinya.
 Akan tetapi, kegalauan/keprihatinan tersebut menurut penulis kelihatannya juga bisa diubah menjadi titik pacu yang berenergi positif demi pengembangan SMK yang lebih futuristic dan peka terhadap kebutuhan masyarakat pelanggannya ketika sinergisitas dan tindak kolaboratif para pemangku kepentingan terbangun secara proporsional, konstruktif dan berkesinambungan. Selain masyarakat yang an sich terlibat di dalamnnya sebagai pelanggan sekaligus pemangku kepentingan, ada tiga komponen konstruktif  lain yang mendukung hal ini bisa terjadi secara maksimal apabila:
Pertama, SMK sebagai sekolah penyiap tenaga kerja secara terus-menerus membangun dan mengembangkan pemihakan konsepsi vokasionalnya sesuai dengan tuntutan dunia kerja yang real-need. Konsepsi yang dimaksud adalah esensi pendidikan kejuruan berbasis kompetensi yang berorientasi pada productivity dan markertable skill. Pembudayaan “belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar” menjadi inti kegiatan didaktis-pedagogik SMK sebagai miniatur tata hidup masyarakat. Pendidikan SMK berkonsepsi ini  menciptakan kondisi untuk mengadaptasi  jenis pekerjaan yang ada, baru, dan mungkin akan ada untuk dijadikan referensi KBM. Karena itu, untuk  realiasasinya dengan didukung oleh tenaga pendidik dan kependidikan yang professional, penekananan kurikulum diberikan pada pencapaian kompetensi yang harus dikuasai dan penekanan pada pemberian pengalaman belajar yang lebih bermakna melalui proses kerja yang sesungguhnya dan menghasilkan produk barang atau jasa sesuai dengan standar pasar dan mengutamakan penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap professional yang layak jual.
Kedua, ada peran supportif Dunia Usaha dan Industri (DUDI) yang relevan sebagai tanggung jawab socio-mutual safety net. Meskipun DUDI tidak bisa dipisahkan dari visi profit-oriented, SMK tetap bisa mengajak kemitraan dengan DUDI dengan prinsip saling menguntungkan. Hal ini guna melaksanakan on the job training  untuk pemerolehan general and specific  training, dan on the job experience (magang atau internship untuk pemerolehan ketrampilan teknis, sikap, kebiasaan dan emosional, askriptif/soft skills). Selain itu, melalui kemitraan ini SMK juga memiliki peluang untuk up date pengetahuan dan ketrampilan yang sedang trend. 
Ketiga, ada peran aktif untuk regulasi, pengawasan, pembinaan dan kompensasi dari pemerintah sebagai pemangku kepentingan. Semangat pemerintah untuk mendorong SMK menjadi ujung tombak pe­nye­dia tenaga kerja terampil nasional dan bahkan internasional semakin menunjukkan ancangan implementatif yang positif dan futuristik. Untuk itu, digalakannya kegiatan-kegiatan strategis guna semakin mendorong berkembangnya SMK baik dari pengadaan infrastruktur, hardware-software, dan segala kelengkapannya maupun orientasi pengembangannya ke depan mencerminkan tekad yang kuat untuk bersinergi dengan moment pembangunan bangsa, melalui pendidikan SMK.
Dengan terjadinya tindak kolaborasi yang sinergis dan tetap saling menguntungkan tanpa menghilangkan visi masing-masing dari ketiga komponen tersebut, SMK sebagai lembaga pendidikan formal yang diundangkan akan mampu menyiapkan sumber daya manusia yang siap memasuki dunia kerja dan menjadi penyedia tenaga kerja yang berkompetensi handal. Selebihnya, SMK juga akan bisa menghadirkan sebuah peluang pemartabatan dalam arti luas dan peningkatkan mutu hidup termasuk pengentasan masyarakat dari jerat kemiskinan yang aktual. Juga, SMK akan bisa dengan naluri profesionalitas kelembagaan kejuruan untuk berkembang secara komprehensif dan mampu sejajar dengan level sekolah formal di tingkatannya sebagai medium pengembangan diri anak didik. Dengan kata lain, SMK sebagai salah satu solusi alternatif pembangunan kemasyarakatan pantas didorong secara kooperatif untuk mampu  mempersiapkan, memproses, membentuk, mengembangkan, memberdayakan dan menghasilkan  sumber daya manusia enterpreneurs  yang terampil dan kompeten.

Bias SMK  Berwawasan Enterpreneurship
Terjadinya perkembangan siswa-siswa SMK mampu memproduksi mobil esemka, pesawat terbang, sepeda motor, robot, alat pengawet makanan, mesin pemanen sawit, mesin alat produksi dan lainnya, semakin menumbuhkembangkan motivasi inspiratif  dan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap kemajuan mutu pendidikan SMK. Usaha-usaha untuk menghasilkan SDM ke arah lebih produktif-kompetitif ini perlu dibarengi dengan revitalisasi fungsi didaktis-pedagogisnya sehingga sekolah menjadi lebih handal, berkualitas dan berwawasan entrepreneurship global atas dasar peran sosialnya sebagai agent of change, sekaligus sebagai aset ekonomi  lokal. 
Selanjutnya, untuk bisa melakukan perberdayaan dan kewirausahaan yang bermakna kultural-inklusif baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat yang dilayani, siswa-siswa SMK juga perlu dididik dan dibekali dengan ketrampilan komunikatif kebahasaan (utamanya Bahasa Inggris) yang memadai agar dapat diadopsi lang­sung oleh industri. Dengan kompetensi kebahasaan, orientasi mutu, relevansi pendidikan dan kurikulum SMK yang terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lokal dan peluang kerja yang disediakan oleh industri, peluang lulusan SMK semakin terbuka untuk terserap di dunia kerja.
Selain itu, sebagai penyedia calon tenaga kerja yang berorientasi pasar SMK juga harus mampu mengedepankan  pendidikan yang berdimensi investasi-eksploratif. Maksudnya adalah bahwa sebagai lembaga SMK harus memiliki hakekat pengembangan citra diri dan agenda kinerja yang bermuara pada kultur entrepreneurship berdasar pada nilai-nilai produktifitas, efesiensi dan efektifitas. Makna praktisnya adalah, SMK harus mampu mengembangkan jenis spesifikasi keunggulan lokal berdimensi ekonomis, jenis spesifikasi ketrampilan yang dibutuhkan pasar, dan daya untuk meluluskan entrepreneur  dengan kemauan, kemampuan mobilitas, dan kesehatan yang prima.
Bagi Pemerintah, tumbuhnya gairah siswa SMK dalam berkreasi dan meningkatkan mutu kompetitif industri kreatif ini kiranya secara kreatif-konstruktif juga terus diberi kondisi untuk tercapainya perubahan-perubahan dalam men­cip­takan kultur serupa di SMK sekitar kita. Dengan demikian tenaga-tenaga engineer tingkat menengah yang siap kerja dan mampu mengenal per­leng­kapan lingkup di dunia kerja yang menjadi miniature nyata  juga terus tersedia.
Mari SMK maju membudaya dalam kinerja (encultural) dan menangkap peluang pasar yang terbuka dengan mendorong budaya belajar sambil kerja ke arah yang produktif dan kompetitif. SMK Bisa!!!
                                                                                   
Penulis:
Dosen FKIP UNTAN,
Peminat Vocational Education
UNTAN Menuju World Class University!
Oleh
Y.Gatot Sutapa Y.

Menyimak tulisan Dr. Leo Sutrisno Pontianak Post  tanggal 23 Januari 2012, penulis tergerak untuk mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan terbangunnya kerjasama antara UNTAN dengan universitas di luar negeri khususnya USA.
Pada tahun anggaran 2010-2011 yang lalu, penulis berkesempatan untuk mengikuti  sandwich-like program di University of Illinois USA sebagai visiting scholar. Penulis melihat adanya celah-celah kerjasama yang bisa dibangun terutama yang terkait dengan pengembangan kerjasama akademis baik yang berupa pengiriman tenaga pengajar, seminar, penerbitan journal, study visit, upgrading teachers, visiting scholar dan lain-lainnya. Penulis, sebagai salah satu perserta program yang medalami English for Vocational School dan ikut aktif dalam beberapa seminar internasional yang diselenggarakan di kampus tersebut, di akhir sebuah seminar yang terkait dengan Education through Culture ditawari untuk mengajar Bahasa Indonesia di Foreign Language Department  at University of Illinois. Kebetulan pengelola program ini adalah seorang ahli bahasa Aram dari Iran yang sudah menetap di Amerika dan memandang penting mengundang  dunia global ikut dalam  entity-nya yang vareatif.
Lain dari itu, penulis juga berkesempatan mengunjungi Richland Community College di Decatur Illinois yang menawarkan mutual cooperation sebagai medium magang. Vice academic director, Dr. Tod Treat, yang sepanjang study visit menemani penulis dan memberikan gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan kerjasama yang bisa dikerjakan dalam berbagai ketrampilan dari yang terkait tentang pembelajaran bahasa Inggris untuk imigran sampai dengan program teknologi  terapan berbasis  pembaharuan.
Satu lagi yang sekarang sedang gencar dilakukan oleh University of Illinois adalah dual degree program. University of Illinois, nampaknya menyadari bahwa partnership tingkat internasional semakin hari menjadi semakin penting untuk tetap menjaga dan mengembangkan rising survivalnya. Prof. Marilyn Parsons, Senior Lecturer at University of Illinois, tahun yang lalu berkunjung ke Indonesia dalam rangka mempromosikan program ini. Dan terkait dengan program ini, Universitas Negeri Semarang sudah setahun lebih awal menindaklanjutinya dan dapat melakukan program  dual degree mulai tahun yang lalu.
Jadi, dari sini dapat ditarik sebuah inspiring moment bahwa kesempatan go public dan menjadi world class university dalam jaringan kerjasama internasional itu ada dan terbuka lebar. Hanya, penulis setuju apa yang diungkap Dr. Leo bahwa untuk bisa berpartner dengan sejajar, minimal dipandang sejajar, UNTAN kita harus memiliki program unggulan. Dengan level sejajar ini kita bisa memetik banyak keuntungan dan kita tidak ter-underestimate dalam hal yang kita sebenarnya juga mampu.

Apa yang bisa kita unggulkan?
Sebuah pertanyaan yang tidak mudah kita jawab memang.  Satu hal yang pasti adalah bahwa dengan menilik posisi UNTAN yang berada di perlintasan internasional langsung menuju Malaysia, Brunei, dan Singapura mestinya memberikan inspirasi bagi kita untuk menemukan fokus kajian dan pengembangan UNTAN ke depan sebagai institusi preservasi dan pusat informasi ilmiah sekurang-kurangnya di Kalimantan Barat. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir FKIP UNTAN juga sudah memulai unjuk gigi membangun kerjasama dengan UKM di Malaysia baik dengan mengirim tenaga pengajar maupun mahasiswa. Juga, ke Brunei ternyata FKIP UNTAN kita telah mampu menyediakan tenaga guru yang sudah lolos seleksi dan siap bekerja di sana. Penulis juga pernah presentasi seminar di USM Penang (memiliki mahasiswa internasional dari Iran, Lebanon, Pakistan, dan negeri Timur tengah lainnya) mendapatkan sambutan yang sungguh luar biasa bahwa USM juga terbuka untuk menjalin kerjasama akademis dengan universitas di Indonesia. Semua ini tentu bisa menjadi benih-benih inspiratif yang siap berkembang di kemudian hari, termasuk menembus  Amerika, jika kita memang mampu secara konsisten terus tumbuh ke arah yang mau kita tuju itu.
Selain daripada itu, selama penulis di Amerika, penulis juga mengamati bahwa Amerika memerlukan tersedianya tenaga-tenaga teknisi ICT dan montir kelas menengah (Kita punya Fakulats Teknik), perawat kesehatan dalam arti luas (Kita punya Fakultas Kedokteran), pelaut di kapal-kapal pesiar (Perlu dibuka Fakultas Kemaritiman?), dan tambang.  Ini semua terlihat nyata ketika Amerika cukup welcome terhadap tenaga-tenaga dari Indonesia yang (tidak jarang) dikenal ulet dan tahan ujian. Maka dari itu, dengan melihat beberapa hal yang penulis sebut tadi, mana yang bisa dan memang mau kita jadikan unggulan semua terbuka di depan kita. Yang penting adalah segera mulai; apakah itu revitalisasi atau implementasi-- karena dunia global tidak pernah menunggu.
Visi yang memanusiakan manusia!
Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang secara conditio sine qua non mengemban tugas untuk “memanusiakan manusia” dan “memanusiawikan” lingkungan hidupnya, UNTAN pantas terpanggil selain bervisi untuk memasuki World Class University, UNTAN juga tetap harus bervisi untuk menjadi pusat ilmiah dan institusi preservasi ke-Kalbar-an yang aktif, kreatif, inovatif, dan konstruktif sebagai akar tumbuhnya. Dua visi yang bersifat ad extra dan ad intra ini harus tetap dikembangkan dan dirawat secara integral-berkesinambungan. Untuk itu, Bapak Rektor yang sedang mengemban amanah luhur ini perlu didukung untuk terjadinya kondisi positif  implementasinya.
Keluhuran amanah rectory yang positif terletak pada feasibilitas policy dan visi implementatif program pendidikan UNTAN yang mesti berorientasi pelayanan publik dengan berdasar pada humanism dan intellectualism. Dengan didukung tenaga dosen yang professional dan tenaga struktural yang kompeten serta kiat  pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, sisi humanism sebuah lembaga pendidikan mengharuskan UNTAN mampu menempatkan martabat kemanusiaan dan pengembangannya ke level yang utama dan diutamakan. Sementara itu, sisi intellectualism menjadi fondasi dan sekaligus isi komtemplatif  UNTAN sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk selalu mampu membawa pencerahan inovatif ranah pikir guna membangun manusia Kalimantan Barat yang berfikir global bertindak local, bernurani lebih adil, bernaluri lebih sejahtera,  berprinsip lebih bermartabat, dan lebih peka terhadap tanda-tanda zaman.
Untuk itu, pantas jika Gugus Tugas hubungan kerjasama UNTAN dan perguruan tinggi di AS yang dibentuk tetap berkiblat pada hal-hal tersebut. Kondisi positif untuk mendukung  rectory mengimplementasikan program-programnya secara  produktif  salah satunya juga terletak di pundak gugus ini.  Selamat  mengglobal!

Penulis: Dosen FKIP Untan, Mahasiswa Doktoral di UNY dan Alumni Sandwich-like Program di University of Illinois USA.